Senin, 07 September 2009

karya tulis ilmiah

MENCETAK MAHASISWA UNGGULAN DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA

* ABDUL RASIT

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya budaya yang ada dalam sebuah jurusan selama ini mengalami stagnasi berkepanjangan karena tidak adanya kesiapan mahasiswa dalam memfokuskan mata kuliah yang diminatinya. Akan tetapi, semua itu hanya menjadi wacana belaka dan tidak adanya keseriusan dari pihak fakultas untuk mengatasi hal itu. Bagaimana mungkin keluaran/alumni yang dicetak menjadi mahasiswa yang siap pakai atau ahli dalam bidangnya yang diharapkan jikalau tidak adanya wadah yang menampung akan hal itu.

Dalam hal ini perlu adanya pembidangan yang lebih fokus dalam sebuah lembaga pendidikan agar apa yang dicita – citakan oleh sebuah lembaga tersebut menjadi tercapai.

A. LATAR BELAKANG

Dalam perkembangan teknologi yang kian waktu kian canggih saja sehingga dalam mempelajari bidang tertentu tidak dikuasai oleh mahasiswa yang ada disalah satu jurusan sehingga mata kuliah yang diminati dalam jurusan tersebut menjadi konferehensif. Dalam hal ini karena tidak adanya keseriusan dari lembaga tersebut untuk memfokuskan bidang kajiannya sehingga tidak bisa mencetak mahasiswa yang diharapkan.

Berkaitan dengan hal itu maka perlu diperjelas lagi agar apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa menjadi tersalurkan pada jurusannya. Dalam menggagas hal semacam itu memang sulit akan tetapi kalau tidak segera dilakukan maka jangan harap semua itu akan tercapai sesuai yang kita inginkan. Sebenarnya kita semua mengetahui bahwa dalam sebuah institusi bidang kajiannya meluas jadi tidak ada yang memfokuskannya.

Jika kita mengacu dengan tujuan Pendidikan Nasional, seperti yang tertuang dalam GBHN 1993, yaitu mencetak manusia Indonesia yang berkualitas dan sejahtera lahir dan batin “beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan rohani. Pendidikan Nasional juga harus menumbuhkan patriotik, mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan social serta kesadaran pada sejarah bangsa dan menghargai jaa para pahlawan serta berorientasi masa depan“ demikian GBHN menjelaskan.

Mengacu pada tujuan tersebut, maka mau tidak mau harus dilakukan pembenahan terhadap lembaga pendidikan tersebut, khususnya kurikilum lokalnya, atau mendirikan jurusan alternatif yang mampu meahirkan manusia – manusia Indonesia seutuhnya. Alternatif ini memang perlu direalisasikan karena mengingat budaya global yang kini sudah merambah sedemikian hebatnya terhadap masyarakat secara umum dan pada tataran Mahasiswa pada khususnya.

Dalam hal ini perlu adanya penyeimbang dan bekal yang kuat seperti yang termaktub dalam GBHN 1993, yang menyatakan disiplin, beretos kerja, professional dan produktif maka perlu adanya penafsiran yang lebih spesifik, sehingga terdapat arti yang sesungguhnya dalam tujuan Pendidikan Nasional. Jika diartikan dalam pernyataan diatas yaitu:

1. Disiplin : Dalam hal ini perngertiannya yaitu sebuah kediplinan dalam ilmu pendidikan sehingga kajiannya lebih fokus pada bidangnya.

2. Beretos Kerja : Jika berbicara masalah etos kerja maka yang diperlukan oleh keluaran/sarjana harus memiliki salah satu keahlian yang bisa di andalkan. Jadi bukannya keluar mau mencri kerja akan tetapi bagaiman bisa membuka lapangan kerja.

3. Profesional : Seorang Mahasiswa tidak luput dalam profesionalitas yang salama ini dimilki oleh Mahasiswa kebanyakan. Dimana dia bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.

4. Produktif : Lulusan yang diharapkan dalam sebuah lembaga yaitu memiliki Mahasiswa yang bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat khususnya dan berguna bagi Nusa dan Bangsa umumnya.

Dari berbagai latar belakang dan alasan itulah maka perlu adanya pemetaan dan pengembangan dari sektor tersebut, sehingga banyak sekali pembenahan – pembenahan yang signifikan agar itu tidak terulang kembali. Cukuplah saya yang merasakan betapa beratnya menjalankannya. Akan tetapi, semua itu membutuhkan proses yang sangat alot agar semua itu tercapai sesuai target yang diharapkan sebelumya.

Jika semua itu diasumsikan sebagai oto kritik pedas terhadap pemerintah atau lembaga itu sendiri sehingga besar harapan adanya perubahan yang signifikan. Jika hal itu tarrealisasikan dengan baik maka sudah tidak diragukan lagi eksistensinya lembaga tersebut dalam mendidik, mengarahkan, membimbing dan mencetak generasi – generasi penerus bangsa yang dicita – citakan atau tujuan dari Pendidikan Nasional.

Disamping itu pula, perlu diadakannya pemahaman – pemahaman dan praktek – praktik teknis secara konverenhensif agar apa yang dipelajari dalam sebuah lembaga tersebut tidak hanya dijadikan sebagai omong kosong belaka. Disamping itu pula, jikalau mengacu atau mengikuti tujuan diselenggarakannya Perguruan Tinggi sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 1990. pada bab II pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Tujuan Pendidikan Tinggi adalah :

1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota Masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.

2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, penggunaannya untuk meninggkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Dalam hal ini yang patut kita renungkan dan benahi adalah masalah krisis moral dan rasa tidak percaya diri atas apa yang telah dimiliki mereka selama ini. Maka dari itu perlu ada yang menyadarkannya agar masalah yang akut ini tidak bertambah parah. Disadari atau tidak bahwa selama ini kreativitas mahasiswa dan khususnya mahasiswa santri diperguruan tinggi agama islam swasta mengalami kemerosotan.

Disamping penyadaran terhadap mahasiswa yang sudah mulai membelot dari yang sudah digariskan oleh lembaga tersebut.disamping penyadaran maka perlu juga diadakannya pembenahan disektor tenaga pengajar yang profesional agar tidak terjadi overlap bagi mahasiswa. Melihat kondisi seperti itu maka kita segera berbenah diri agar kita bisa mengejar ketertinggalan kita meskipun sudah jauh. Maka dari itu perlu adanya penciptaan karakteristik atau ikon dilembaga tersebut agar kita tidak disepelekan oleh lembaga lain yang sudah maju dari pada lembaga kita.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi maka perlu adanya kejelasan agar tidak ada perdebatan yang berkepanjangan. Jika ini dibiarkan terus menerus maka yang dikhawatirkan akan merembah keranah vital dan itu akan mengakibatkan sesuatau yang tidak diinginkan oleh semua mahasiswa khususnya, yaitu mengenai lemahnya bidang kajian ke – islaman sehingga apa yang dipelajarinya mengalami kegamangan.

Dari pemaparan latar belakang diatas, maka perlu adanya rumusan masalah yang akan mengupas tuntas akan hal itu agar tidak ada kesalah pahaman dalam kajian ini :

1. bagaimana pergaulan mahasiswa santri di kampus?

2. Bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap kitab kuning?

3. Adakah korelasi antara Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta ( PTAIS ) dengan Pesantren?

4. Dimanakah posisi kitab kuning dalam Perguruan Tinggi Agama Islam?

5. Persoalan apa saja yang dihadapi oleh PTAIS ( Perguruan Tinggi Agama islam Swasta ).

6. Adakah dampak positif dengan belajar membaca kitab kuning dengan mata kuliah umum?


BAB II

PEMBAHASAN

A. PERGAULAN MAHASISWA SANTRI DI KAMPUS

Jika melihat fenomena yang terjadi selama ini dilakukan oleh mahasiswa yang keluaran (mantan) atau yang masih nyantri (menjadi santri) di pondok pesantren kini sudah mulai mengalami perubahan yang sangat drastis. Mulai dari sektor akhlak, ketekunan belajar, beribadah, dll.

Perlu diketahui bersama bahwa pergaulan mahasiswa jika sudah pindah ke kota. Sudah banyak mengalami perubahan mulai dari tutur kata dan bahasa dan tingkah lakunya. Semua itu tidak sama seperti pergaulan - pergaulan mahasiswa tempo dulu yang identik dengan idealisme dan ketekunannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah siapakah yang disalahan jika akhlak dan moral mahasiswanya rusak? Apakah Mahasiswa, Lingkungan, Zaman, Teman atau bahkan Dosennya.

Memang kita mengakuinya atau tidak bahwa kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi dan pengaruh media massa yang sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir sebagian mahasiswa. Melihat hal ini kita menjadi prihatin atas apa yang telah menimpa mahasiswa santri.

Coba Anda sejenak berjalan di sepanjang jalan H.R. Boenyamin (depan Rektorat Unsoed) khususnya di malam hari, mata Anda akan dimanjakan dengan puluhan pasang muda - mudi yang menyambut malam mereka di warung - warung tenda, atau pun di trotoar - trotoar sepanjang jalan ini. Melihat hal ini mungkin kita masih mafhum. Ternyata Jumlahnya pun tak cukup dihitung dengan jari.

Sebenarnya yang lebih mencengangkan adalah hasil survei seorang Mahasiswa Program Sarjana Kesehatan Masyarakat yang menyatakan bahwa enam dari sepuluh mahasiswa kost di daerah Sumampir (sebuah daerah kost - kostan di sekitar Universitas Jenderal Soedirman) pernah melakukan tindakan penyimpangan seksual termasuk free sex. Fenomena ini baru yang terjadi di Universitas Jenderal Soedirman, belum lagi di Universitas dan sekolah tinggi lain di kota – kota besar. Mungkin jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Dari fenomena - fenomena di atas, jelas bahwa pergaulan di kalangan mahasiswa kota perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak khususnya para orang tua sebelum putra - putrinya belum terlanjur terjun ke dalam pergaulan satanis dunia kampus.

1. Pesantren Sebagai Salah Satu Solusi

Sebenarnya di kota – kota besar banyak sekali pondok pesantren yang menampung mahasiswa sebagai tempat berteduh dan menambah ilmu disamping kuliah.Dari sekian banyak pesantren, para santri umumnya dari kalangan mahasiswa. Dalam hal inipun kurikulum pesantren pun cenderung lebih fleksibel menyesuaikan dengan kesibukan mahasiswa. Ada banyak keuntungan yang bisa didapat oleh para mahasiswa santri , diantaranya yaitu :

a. Pergaulan Lebih Terjaga

Bagaimana pun pesantren masih mampu menyuguhkan pergaulan - pergaulan yang sehat dibanding dengan kost – kostan atau kontrakan pada umumnya. Hal inilah yang urgen dari sebuah pesantren, di samping sebagai lembaga keilmuan tentunya sebagai wadah untuk menjaga, mencentak dan membimbing akhlak yang selama ini mengalami degradasi ( Krisis Moral ).

b. Memperdalam Ilmu Agama

“Jika ingin memperdalam ilmu agama sekaligus ilmu - ilmu umum, ya kuliah sambil menjadi santri”, tutur dari salah satu, mahasiswa MIPA Universitas Jember yang nyantri di ASHTRA – JEMBER, dan tutur D’liyaul Fuad Asa, Mahasiswa Tarbiyah Universitas Islam Jember yang nyantri di Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo – Jember.

Menurut mahasiswa kelahiran Jember ini, menjadi santri di Pondok Pesantren ternyata sama sekali tidak mengganggu perkuliahannya, bahkan dia mampu mencapai prestasi yang cukup baik di kampus. Hal tersebut merupakan beberapa manfaat dari pesantren untuk membentegi generasi muda dari bahaya hedonisme kampus. Selain manfaat tersebut, ternyata pesantren juga bisa menjadi jembatan karier bagi santri - santrinya yang telah lulus dari bangku perkuliahan.

Pada akhirnya, kita sendiri lah yang memilih mau dibawa ke mana generasi penerus bangsa ini. Yang jelas bagi para orang tua khususnya yang putera putrinya akan atau tengah menuntut ilmu di kota Satria ini, pilihkanlah tempat kost yang baik, jauh dari peradaban satanis kampus yang menggerogoti idealisme para mahasiswa. Salah satunya adalah dengan menitipkan putra putri Anda di pondok pesantren.

B. PEMADUAN ILMU SEBAGAI UPAYA MELEPAS DIKOTOMI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

Dunia pendidikan tinggi Islam sebagian besar masih mengikuti platform keilmuan Islam klasik yang didominasi oleh ulum al-syar’i. Memasuki periode modern, tradisi itu mengalami kesenjangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sangat kuat mempengaruhi peradaban ummat manusia hingga dewasa ini. Kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan tinggi Islam dengan tiga situasi yang buruk: pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas kemodernan; dan ketiga, menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama. Merespons ketiga situasi itu, para sarjana muslim modern mengusulkan perluanya usaha pemaduan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu modern, antara lain dengan memunculkan gagasan dan proyek islamisasi ilmu pengetahuan.

Usulan islamisasi ini sering dilihat atau ditampilkan dalam kerangka yang terlalu ideologikal sehingga diasosiasikan dalam bentuk usaha-usaha yang kurang apresiatif terhadap bangunan-bangunan ilmu pengetahuan modern. Islamisasi ilmu pengetahuan sepertinya akan menggantikan secara total seluruh sistem ilmu pengetahuan sebagaimana yang sudah berkembang dewasa ini. Kesan ini terlalu berlebihan dan menepis substansi gagasan islamisasi itu sendiri sehingga dalam kasus Indonesia upaya Islamisasi belum mendapat perhatian yang serius. Secara obyektif, IAIN sebagai lembaga kajian Islam par exellence hampir tidak pernah mengangkat isu islamisasi ini baik dalam wacana konsepsional maupun dalam program operasional.

Substansi islamisasi ilmu pengetahuan agaknya didasarkan pada panggilan universal ketika dunia ilmu pengetahuan dan teknologi modern memerlukan landasan moral dan spiritual yang konsisten. Dalam kesadaran masyarakat modern sudah mulai dirasakan adanya paradoks ilmu pengetahuan yang cenderung menghasilkan malapetaka ketimbang berkah karena rapuhnya fondasi materialisme dan positivisme. Kegelisahan moral dan spiritual yang diderita masyarakat modern memunculkan penomena bunuh diri massal atas nama penyelamatan surgawi. Seyyed Hossein Nasr mengingatkan bahwa penerapan sains modern menyebabkan bencana lingkungan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan bahkan juga menyebabkan kehancuran tata alamiah secara total. Kenyataan dunia ilmu pengetahuan yang tidak dapat mengatasi kegelisahan itu harus dikembalikan pada aspek-aspek fundamental ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga penyelesaiannya memerlukan penanganan yang serius.

Dalam hubungan agama dan ilmu pengetahuan, secara garis besar terdapat dua pandangan yang berkembang di Indonedia, tetapi kedua-duanya belum diwujudkan dalam usaha yang serius dan terus menerus. Sebagian pandangan berasusmi bahwa ilmu pengetahuan sebagai produk dari kegiatan ilmiah bersifat netral [bebas nilai]. Meskipun lahir dan berkembang dalam masyarakat Barat yang sekuler, ilmu pengetahuan sebagaimana adanya dapat digunakan untuk kepentingan ummat manusia. Kaum muslimin dengan jiwa keislamannya yang mantap dapat menggunakan ilmu pengetahuan itu dan dijamin tidak akan hanyut dalam arus sekularisasi. Dalam konteks ini, gagasan Islamisasi dipandang sebagai sikap apriori, semata-mata karena ilmu pengetahuan modern dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat.

Dalam menjawab tuntutan moral dan spiritual, pandangan yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai bebas nilai ini mengusulkan perlunya pengembangan etika agama dalam kehidupan praktis secara lebih fungsional. Sejauh ini agama lebih dipraktekkan dalam rangkaian-rangkaian ritual yang formal. Sebagai agama suci, Islam sesungguhnya memiliki dasar-dasar etis dalam semua aspek kehidupan yang menjadi landasan perilaku yang bermoral. Dalam diri manusia yang memiliki konsistensi etis inilah ilmu pengetahun akan memberikan arti yang sesungguhnya bagi kemaslahatan ummat manusia.

Kalangan lain berpandangan bahwa ilmu pengetahuan modern mengandung nilai materialisme dan positivisme sesuai dengan tradisi Barat. Ketika diusulkan perlunya Islamisasi, maka yang dimaksudkannya adalah bagaimana menggantikan nilai-nilai materilaisme dan posititivisme itu dengan nilai-nilai keagamaan yang lebih trandensental. Paradigma positifistik dalam batas-batas tertentu memang sangat diperlukan dalam proses ilmiah, tetapi ia tidak dapat menjangkau dimensi-dimensi metafisik dan non-material. Karena itu, sepanjang ilmu pengetahuan itu dikuasai oleh nilai-nilai Barat yang sekuler, kehampaan moral dan spiritual akan terus menghantui ummat manusia dan pada gilirannya mengancurkan tatanan dunia secara keseluruhan.

Pada tataran yang paling sederhana, islamisasi ilmu pengetahuan sering dilakukan dengan mencarikan doktrin-doktrin agama yang relevan. Bangunan ilmu pengetahuan modern sepenuhnya diterima, hampir tanpa gugatan yang kritis, tetapi ditambahkan dan diperkuat dengan ketentuan-ketentuan teks-teks (nushush) al-Qur’an dan al-Hadits yang mendukung. Cara kerja islamisasi ilmu pengetahuan yang sederhana ini tidak jauh berbeda dengan cara kalangan Islam yang mengadopsi ideologi modern tertentu dengan dalil-dalil yang relevan, seperti munculnya faham sosialisme Islam. Pada tahap awal, langkah ini cukup berguna sebatas menghidupkan semangat keislaman meskipun tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Tahap yang cukup signifikan dalam islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha membangun basis-basis keislaman yang tangguh untuk semua disiplin ilmu. Usaha ini biasa disebut dengan Islamisasi disiplin ilmu [Islamization of disciplines]. Daripada mempersoalkan aspek-aspek filosofis ilmu pengetahuan secara mendasar, islamisasi disiplin ilmu lebih langsung menangani secara kritis teori-teori ilmu pengetahuan yang sudah berkembang. Keseriusan usaha ini terletak pada proses seleksi, identifikasi dan klasifikasi teori-teori yang relevan dan tidak relevan dengan Islam. Dengan demikian, penggunaan dalil-dalil keagamaan tidak selalu untuk mengabsahkan teori yang ada, tetapi juga untuk menolak dan sekaligus menawarkan alternatif terhadap teori yang berlawanan dengan ajaran Islam. Proses ini secara otomatis ikut memperkaya teori-teori ilmu pengetahuan itu sendiri dengan munculnya berbagai versi (madzhab).

Usaha Islamisasi ilmu pengetahuan secara lebih fundamental dilakukan dengan asumsi bahwa kerangka filosofis ilmu pengetahuan modern masih sempit paling tidak untuk menampung prinsip kosmologi Islam yang tidak terbatas pada dunia empirik. Dengan demikian, apa yang harus dilakukan adalah bagaimana membangun kerangka filosofis ilmu pengetahuan secara Islami. Masalahnya adalah dari mana dan dengan apa usaha membangun kerangka filosofis Islami itu dimulai. Dalam kenyataananya, Islam sendiri memang memiliki tradisi keilmuan yang panjang, tetapi apakah tradisi itu cukup untuk mengganti begitu saja tradisi keilmuan modern.

Sebagian sarjana muslim melihat secara objektif bahwa tradisi keilmuan Islam yang berkembang hingga masa modern lebih didominasi oleh tradisi al-ulum al-syar’i. Menurut ‘Abd al-Hamid Abu Sulayman, tradisi pemikiran Islam klasik memiliki kelemahan karena terbatas pada kajian teks dalam bidang bahasa, hadits, dan fiqh. Sejauh perhatian hanya diarahkan pada al-ulum al-syar’i, maka jelas tradisi keilmuan Islam klasik dipandang tidak cukup untuk menangani problem ilmu pengetahuan modern. Karena itu, menurut Ismail al-Faruqi, proyek Islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang berpusat pada konsep yang paling fundamental, yakni tauhid [keesaan Tuhan]. Dalam pandangannya, basis tauhid itu dapat mengatasi sekaligus keterbatasan-keterbatasan, baik yang diderita oleh kerangka keilmuan modern maupun kerangka pemikiran Islam klasik.

Usaha membangun kerangka filosofis baru dalam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan bahan pembahasan sejumlah sarjana muslim kontemporer. Al-Faruqi sendiri jelas dalam monograp Islamization of Knowledge mengusulkan satu kerangka kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yang terdiri dari 12 langkah operasional, mulai dari penguasaan disiplin ilmu sampai dengan penyebaran ilmu pengetahuan yang sudah terislamkan. Melengkapi tawaran al-Faruqi ini, Muhammad ‘Arif mengusulkan penggunaan dua pendekatan stratification and idealization yang masing-masing dipinjam dari Einstein dan Academic American Encyclopedia. Pendekatan pertama, stratification, pada dasarnya adalah teoritisasi yang dimulai dengan peristiwa yang konkrit menuju yang abstrak, sedang pendekatan kedua, idealization, berproses sebaliknya, mulai dari yang umum dan abstrak menuju yang konkrit.

Terlepas dari langkah-langkah apa yang harus dilibatkan dalam kerangka filosofis Islam itu, yang paling penting menurut Louay Safi adalah bagaimana menjadikan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Hal yang terakhir ini secara signifikan menjadi ciri pokok dari usaha Islamisasi ilmu pengetahuan, untuk membedakannya dengan ilmu pengetahuan modern yang berumber dari kebenaran empirik. Namun demikian, dalam prakteknya usaha ini tidak sederhana karena kenyataan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak memberi tempat sama sekali bagi wahyu. Tradisi keilmuan Barat sekuler menganggap wahyu sepenuhnya sebagai bidang metafisik dan kerana itu dianggap sebagai pengetahuan yang berada di luar jangkauan kebenaran rasional. Selain itu, sebagaimana dinyatakan Immanuel Kant, proses saintifik hanya absah dalam batas-batas wilayah empirik mengingat akal manusia tidak dapat memikirkan realitas transendental. Bertolak belakang dengan kecenderungan modern ini, dalam The Foundation of Knowledge, Safi nampaknya ingin menawarkan kerangka metodologis yang terpadu bagi ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu sosial, yang menjamin posisi wahyu sebagai sentra dalam Islamisasi ilmu pengetahuan.

Kerangka metodologis yang ditawarkan Safi memadukan antara prinsip-prinsip analisis tekstual [kajian al-Qur’an sebagai wahyu] dan prinsip-prinsip kajian historis [pengalaman empirik]. Pada tahap awal metodologi terpadu bertolak dari kerangka kerja teoritis [theoritical framework] yang pada dasarnya merupakan kumpulan ketentuan-ketentuan universal yang bersumber dari wahyu dan rekaman sejarah. Kerangka teoritis ini selanjutnya digunakan untuk menganalisis penomena sosial melalui hipotesis tertentu yang dibuktikan lewat serangkaian pengamatan [observasi]. Dengan pendekatan terpadu ini, Safi menjamin proses teoritisasi dalam ilmu-ilmu sosial dapat berlangsung secara terbuka dan terus menerus karena memungkinkan untuk diperbaiki dan disempurnakan. Agaknya kerangka teoritik yang didasarkan dari wahyu dan rekaman sejarah itu tidak bersifat absolut dan sangat tergantung pada proses verifikasi, klarifikasi dan pengembangan yang konstan.

Sementara itu, Fazlur Rahman agaknya tidak menganggap perlu adanya langkah-langkah itu. Menurutnya, orang tidak dapat merancang satu metode tertentu untuk membimbing pemikiran manusia, sebab ia memiliki kerangka berfikirnya sendiri.. Sarjana Muslim lain Muhammad Sa’id al-Buti menolak adanya kerangka baru itu karena metode ilmiah adalah fakta yang berlaku untuk dunia yang obyektif.

C. PERSOALAN UTAMA YANG DIHADAPI PTAIS

Persoalan utama yang dihadapi oleh perguruan tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) saat ini adalah kekurang berhasilannya dalam mencapai dua tujuan pokok pendidikan tinggi seperti yang termaktub dalam PP 60 tahun 1999, yaitu masalah kualitas lulusan yang dihasilkannya dan sumbangan PTAIS pada pengembangan Ilmu, dalam hal ini ilmu Agama Islam.

1. Masalah Mutu Lulusan

Kendati secara kuantitas, jumlah lulusan PTAIS sudah cukup besar, secara kualitas kondisinya masih jauh dari memuaskan. Mutu kebanyakan lulusan PTAI masih dianggap belum memenuhi harapan masyarakat. Keluhan seperti ini sering disuarakan oleh anggota masyarakat melalui berbagai forum dan media. Keluhan ini meliputi berbagai hal, mulai dari kompetensi yang paling dasar seperti kemampuan membaca Al-Qurán secara Tartil, menjadi Khatib Jumát, perilaku sehari-hari (Akhlaq), sampai ke Profesionalitas mereka dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan jurusan yang mereka ambil di PTAI : sebagai guru Agama Islam, daí, pemuka Agama, Hakim Agama, Pegawia DEPAG dsb. Kondisi ini dianggap merupakan salah satu penyebab masih banyaknya lulusan PTAI yang belum/tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang masih menganggur.

Peningkatan jumlah mahasiswa memang akan meningktkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dijenjang pendidikan tinggi dan meningkatkan jumlah lulusan. Namun, apabila tidak disertai dengan kualitas yang tinggi, sebagian besar dari mereka akan selalu kalah dalam memperoleh persaingan memperoleh pekerjaan dimasyarakat sehingga menambah jumlah penganguran sarjana yang akan membebani masyarakat dan pemerintah.

2. Masalah Sumbangan PTAI Terhadap Pengembangan Ilmu

Sumbangan PTAI terhadap pengembangan ilmu, teknologi, seni, dan udaya yang bernafaskan Islam juga dinilai masyarakat masih kurang siginifikan. Masyarakat belum melihat PTAI sebagai pusat kajian ilmu Agama tempat mereka menoleh apabila ada persoalan-persoalan yang menyangkut agama, apalagi dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang bernafaskan Islam. Dalam masalah-masalah agama misalnya, masyarakat masih lebih suka menoleh kelembaga keagamaan lain diluar PTAI, seperti Majelis Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU dsb. Hasil penelitian PTAI tentang masalah keagamaan yang terkait dengan masalah kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Mungki karena memang tidak ada, kebanyakan dianggap tidak bermutu, atau karenan kurangnya penyebarluasan hasil penelitia itu kemasyarakat.

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan PTAI sebagai salah satu tri darma perguruan tinggi juga dikaitkan dengan hasil penelitian dan hasil pendidikan yang telah dilakukan PTAI. Ini mengakibatkan relevansi, manfaat, dan sumbangan nyata hasil penelitian yang dilakukan PTAI bagi masyarakat mejadi kurang tampak.

3. Dampak Negatif Kekurang-berhasilan Ini

Rendahnya mutu kebanyakan lulusan PTAI dalam menerapkan hasil studinya di PTAI demi kemaslahatan masyarakat dapat menimbulkan citra bahwa mutu program pendidikan di PTAI memang kurang/tidak bermutu sehingga tidak dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu sesuai dengan harapan masyarakat. Dampak ikutannya dapat berupa anggapan bahwa ahli pendidikan Islam di PTAI memang tidak mampu membuat program pendidikan Islam yang bermutu dan dapat menghasilkan lulusan yang memenuhi harapan masyarakat. Yang lebih parah adalah jika sampai timbul angapan dimasyarakat, setelah melihat prestasi alumni PTAI yang hanya begitu-begitu saja, bahwa memang ilmu agama Islam itu hanya sebegitu saja dan, karenanya, jangan banyak mengharap darinya.

3.1 Faktor Penyebab

Kekurang berhasilan PTAI dalam menunaikan tugas pokoknya tersebut mungkin disebabkan oleh berbagai factor, ekternal, maupun internal.

3.1.1. Untuk Faktor Ekternal Dapat Disebutkan Antara Lain:

1. Bergesernya aspirasi pendidikan masyarakat (Ummat Islam) yang dulu lebih mementingkan pendidikan agama ke ilmu umum seiring dengan laju pembangunan bangsa.

2. Semakin sempitnya peluang lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri sebagai akibat zero growth (atau bahkan minus growth) pemerintah dibidang kepegawaian. Sementara itu, pekerjaan disektor swasta tidak memberikan imbalan yang cukup menarik bagi lulusan PTAIS.

3. Banyaknya lulusan PTAIS yang tidak segera mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menyebabkan berkurangnya minat calon mahasiswa untuk belajar di PTAIS. PTAIS dianggap sebagai perguruan tinggi yang tidak menjanjikan prospek masa depan cerah. Lulusan SLTA yang mempunyai potensi akademik tinggi cenderung memilih Perguruan Tinggi selain PTAIS, yang dianggapnya lebih menjanjikan.

4. Beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya mungkin juga membuat sebagian calon mahasiswa kurang berminat untuk menjadi ahli agama.

5. Kurangnya minat lulusan SLTA yang memiliki potensi akademik tinggi untuk belajar di PTAIS menyebabkan mutu kebanyakan mahasiswa PTAIS menjadi kurang ideal. Banyak PTAIS yang terpaksa harus menerima dengan mutu kurang ideal ini karena merreka takut kekurangan mahasiswa apabila mereka terlalu selktif dalam memilih mahasiswa.

6. Input mahasiswa yang kurang ideal ini menyebabkan sulitnya PTAIS menghasilkan lulusan yang bermutu sesuai dengan harapan masyarakat.

3.1.2. Untuk Faktor Internal Dapat Disebutkan, Antara Lain:

1. Manajemen dan kepemimpinan: banyak PTAIS yang masih dikelola secara tradisional dan dengan modal semangat berjuang tanpa disertai kemampuan mengelola sebuah perguruan tinggi secara modern.

2. Kurikulum : kelemahan utama kurikulum PTAIS yang digunakan saat ini adalah kurang komunikatifnya kurikulum itu bagi semua pihak yang terkait.

3. Dosen : kebanyakan dosen PTAIS adalah lulusan PTAIS sendiri dengan berbagai jurusannya. Kecuali mereka yang berasal dari Fakultas Tarbiyah, kebanyakan dosen PTAIS tidak memperoleh latihan kependidikan. Kendati kebanyakan mereka kini sudah menyelesaikan pendidikan S2 namun disayangkan ada sebagian PTAIS yang lebih mementingkan formalitas pendidikan S2 dosennya daripada mutunya.

4. Proses belajar mengajar : proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh PTAIS kebanyakan masih bersifat tradisional dan formalistis. Mungkin hal ini adalah akibat kurang jelas (komunikatif) nya kurikulum PTAIS saat ini sehingga arah pendidikan disuatu PTAIS kurang dipahami oleh pelaksana pendidikan dilapangan.

5. Input mahasiswa : sebagai akibat kurangnya minat lulusan SLTA yang berkualitas masuk PTAIS maka mutu input mahasiswa PTAIS menjadi kurang bagus. Di samping itu, kesiapan mereka untuk mengikuti perkuliahan di PTAIS juga beragam akibat beragamnya asal sekolah menengah mereka. Mereka yang berasal dari Madrasah Aliyah (MA) umumnya mempunyai pengetahuan Agama dan kemampuan bahasa Arab yang bagus, sementara mereka yang berasal dari sekolah menengah Umum (SMU) dan sekolah Menengah Ketrampilan (SMK) umumnya mempunyai dasar pengetahuan agama dan kemampuan bahasa Arab yang kurang bagus. Sayangnya, kebanyakan PTAI tidak menyelenggarakan program penyiapan (program matrikulasi) untuk calon mahasiswa yang mutunya kurang bagus ini. Ini menambah kesulitan PTAIS untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

6. Lingkungan belajar : untuk mendukung proses pendidikan calon ilmuwan dan ahli agama Islam yang memiliki integritas, akhlak mulia, dan profesional diperlukan suasana kampus yang ilmiah dan Islami dimana nilai-nilai dan norma-norma ilmiah Islam dijunjung tinggi. Namun hal ini belum memperoleh perhatian yang cukup dari pimpinan kebanyakan PTAI.

7. Dana operasional yang cukup diperlukan guna menjamin lancarnya kegiatan proses belajar mengajar guna menghasilkan lulusan yang bermutu dan berguna bagi masyarakat.

8. Rendahnya kemampuan dosen PTAIS dalam melakukan penelitian ilmiah. Kelemahan ini akan mengakibatkan rendahnya mutu hasil penelitian yang mereka lakukan sehingga tidak digunakan oleh masyarakat sebagai acuan. Kita juga tidak mengharapkan dosen seperti ini akan menghasilkan lulusan yang mampu dan terampil dalam melakukan penelitian.

9. Kurangnya perhatian pimpinan PTAIS untuk menyebarluaskan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh dosen dan mahasiswanya. Hal ini tampak dari kecilnya dana yang dialokasikan untuk penerbitan jurnal ilmiah dikampusnya.

Untuk meneropong persoalan utama yang masih “tersisa”, yakni adanya mall-praktek dalam dunia pendidikan, khususnya di PTAIS dan pencermatan terhadap pendidikan agama Islam di Perguan Tinggi Umum (PAI di PTU). Dalam hal ini maka perlu adanya pembidangan yang lebih fokus agar tidak terjadi ketimpangan dilembaga PTAIS yang selama ini sudah kalh bersaing dengan PTAIN dan PTN. Apakah kita tidak mampu seperti PTAIN dan PTN tersebut.

D. LANGKAH–LANGKAH MAHASISWA DALAM MEMPELAJARI DAN MEMBACA KITAB KUNING.

Dalam pembahasan kali ini maka perlu adanya pemilahan yang jelas sehingga tampak sekali dalam pembagiannya.

1. Belajar Membaca Kitab Kuning.

Dewasa ini dalam ruang lingkup perkuliahan sudah mulai menggeser eksistensi mahasiswa dalam belajar membaca kitab kuning ( kitab tanpa harokat/gundul ). Dalam halinikarena tidak adanya pemahaman terhadap mahasiswa bahwa pentingnya membaca kitab dan itu berbanding terbalik dengan mata kuliah umum lainnya.

Dengan demikian dalam bidang kajian membaca kitab kuning, hal ini seakan – akan sudah usang dimata mahasiswa yang sudah dikelilingi dengan tekhnologi canggih. Sebenarnya mereka tidak menyadari bahwa yang ada disekeliling mereka adalah hasil dari terjemahan Al – Qur’an dan dalam hal ini maka perlu penguasaan yang mendalam tentang membaca kitab kuning agar kita mengetahui semua inti sari hukum islam dan semuanya itu berbahasa arab yang termaktub didalamnya.

Kembali pada pembahasan diatas bahwa dalam mempelajari baca kitab kuning sebenarnya kita dituntut untuk ulet dan sabar dalam mempelajarinya. Diakui atau tidak bahwa sebagian mahasiswa mengemukakan bahwa mempelajari baca kitab kita kuning sangat sulit. Jika kita mengacu pada firman Allah SWT yang berbunyi :

Artinya : “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya “. (Q.S. Al–Baqarah [2] :286 )

Dari penjelasan diatas itulah maka kita sudah mengetahui bahwa tidak dalam kata sulit dalam mempelajari sebuah mata kuliah diluar batas kemampuan kita.

Dalam mempelajari sebauh mata kuliah yang lebih fokus disebuah lembaga pendidikan tinggi islam tidaklah sulit. Kita jangan berpikiran sempit atau beranggapan tidak bisa menguasai mata kuliah atau materi tersebut. Dalam hal ini Allah SWT juga berfirman dalam kitab–Nya yang berbunyi :

Artinya :

“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu”.

Jadi, dengan alasan ayat diatas sudah jelaslah bahwa kita hanyalah insan yang dha’if atau lemah disisi–Nya. Maka dari itulah kita janganlah berpikiran sempit dalam belajar membaca kitab kuning. Seringkali kalau kita mempelajari kitab, kita sering dikatakan kolot atau tidak tahu perkembangan zaman. Dalam hal ini kita tidak akan mengetahui makna yang tersirat didalam Al–Qur’an dan Al–Hadits jika kita tidak bisa membaca dan menterjemahkan teksnya secara konferehensif. Sebenarnya Allah SWT menurunkan Al–Qur’an itu guna untuk dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat manusia melalui Rasul–Nya untuk diamalkan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi :

Artinya :

“maka berpeganglah pada apa yang diwahyukan kepadamu“(Q.S.Az–Zukhruf [43]:43)

Sebelum kita mengupas tuntas tentang bagaimana cara mempelajari kitab kuning di Perguruan Tinggi Agama Islam. Alangkah baiknya kalau kita mengetahui terlebih dahulu siapakah penemu cara membca kitab dengan cepat agar pembahasannya lebih terarah dan sistematis.

2. Penemu Cara Cepat Membaca Kitab

Dalam Agama Islam siapa yang tidak ingin bisa memahami tulisan-tulisan berbahasa Arab secara baik dan benar? Tidak ada yang bisa meragu, kitab suci Al-Qur’an dan teks-teks hadits Nabi serta sebagian besar khasanah keislaman disuguhkan dengan bahasa dan tulisan Arab. Ada yang berlebihan bahkan menyebut bahasa Arab sebagai bahasa surga. Akan tetapi melihat huruf-huruf yang kelihatan sulit dalam kitab-kitab kuning atau kitab gundul itu orang menjadi ketakutan. Jika seseorang ingin bisa berbahasa Arab harus mendekam dalam jangka waktu di pesantren. Orang harus belajar ilmu nahwu, memutar-mutar harakat sampai pusing; harus belajar ilmu sharaf yang menegangkan saraf, satu kata dibolak-balik menjadi puluhan kata, puluhan makna. Banyak yang ketakutan bahwa bahasa Arab adalah bahasa tersulit di dunia. Dengan alasan itulah yang menginspirasi Taufiqul Hakim, seorang kiai muda usia, untuk menyusun metode pembelajaran kitab kuning secara cepat, tepat, dan menyenangkan. Metode itu diberi nama ”amtsilati” yang terinspirasi dari metode belajar cepat membaca Al-Quran, yakni ”Qiro'ati”.

Jika dalam metode Qiro'ati orang bisa belajar membaca Al-Qur’an dengan cepat, maka dengan metode Amtsilati orang akan dapat membaca dan memahami kitab ’gundul’ kitab tanpa harakat, kenapa tidak! “Terdorong dari metode Qiro'ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya, saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harokatnya. Terbetiklah nama Amtsilati yang berarti beberapa contoh dari saya yang sesuai dengan akhiran "ti" dari Qiro'ati. Mulai tanggal 27 Rajab 2001, saya merenung dan bermujahadah, dimana dalam thoriqoh ada do'a khusus, yang jika orang secara ikhlas melaksanakannya, insya Allah akan diberi jalan keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap hari saya lakukan mujahadah terus–menerus sampai tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan Nuzulul Qur'an,” katanya. ”Saat mujahadah, kadang saya ke makam Mbah Ahmad Mutamakin. Di sana kadang seakan-akan berjumpa dengan Syekh Muhammad Baha'uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutammakin dan Ibnu Malik dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar. Hari itu seakan-akan ada dorongan kuat untuk menulis. Siang malam saya ikuti dorongan tersebut dan akhirnya tanggal 27 Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati ditulis hanya sepuluh hari.”

Awalnya Taufiqul hakim menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua nadzam atau syair dalam kitab Alfiyah yang disebut-sebut sebagai babonnya gramatikal arab itu tidak semuanya digunakan dalam praktek membaca kitab kuning. Dia menyimpulkan bahwa dari 1000 nazham Alfiyah yang terpenting hanya berjumlah sekitar 100 sampai 200 bait, sementara nazham lainnya sekedar penyempurna. Dengan bekal hafalan dan pemahamannya terhadap kitab Alfiyah, dia mulai menyusun metode Amtsilati. Penyusunan tersebut dia mulai dari peletakan dasar-dasarnya kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan.

Amtsilati memberi rumusan berpikir untuk memahami bahasa Arab. Di sana ada rumusan sistematis untuk mengetahui bentuk atau posisi satu kata tertentu. Hal ini dapat dilihat pada rumus utama isim dan fi’il atau tabel. Lalu juga ada rumus bayangan dhamīr untuk mengetahui jenis atau kata tertentu; penyaringan melalui dzauq (sensitivitas) dan siyāqul kalām (konteks kalimat). Sebelum memasuki praktek, Amtsilati telah memberi rambu-rambu mengenai kata-kata yang serupa tapi tak sama (homonimi: homografi, homofoni). Kata-kata yang serupa ini bisa terjadi dari beberapa kemungkinan: isim; fi’il mādhi; fi’il mudhāri’; fi’il amar; isim fi’il; huruf; dhamīr; isyrāh; maushūl; dan lainnya. Rumus selengkapnya terangkum dalam buku Tatimmah 1 hal. 3-7, 10, 12, 15-34. Kelebihan Amtsilati adalah peletakan rumus secara sitematis, dan penyelesaian masalah gramatikal Bahasa Arab melalui penyaringan dan pentarjihan. Selain itu, rumus yang pernah dipelajari diikat dengan hafalan yang terangkum dalam dua buku khusus, yaitu "Rumus Qaidati" dan "Khulashah Alfiyah". Diharapkan, para pemula tidak perlu bersusah-susah mempelajari bahasa Arab selama 3 sampai 9 tahun; cukup 3 sampai 6 bulan saja.

2. Pemahaman Terhadap Kitab Kuning.

Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para Ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing. Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).

Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matn (teks asal) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara sharh, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid scperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kilab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. Selain itu, yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal balnva ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan kiai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi iki iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.

Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah seorang mahasiswa khususnya jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak mengetahui akan pentingnya mempelajari kitab kuning. Sehingga seorang Dosen dalam menyampaikan mata kuliah Bahasa Arab, Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an dan Bimbingan Membaca Kitab (BMK) menjadi hambar karena mereka tidak memahami apa yang disampaikan oleh Dosen.

Dari pemaparan diatas, kiranya menjadi tolak ukur dan pembenahan disektor akademis. Memang secara logika dalam belajar membaca kitab kuning sudah ketinggalan zaman katanya orang muda sekarang. Akan tetapi, hal ini sangat penting diera ini agar lulusan dari lembaga tersebut mumpuni sesuai dengan bidangnya yaitu Pendidikan Agama Islam. Bagaimana mungkin Mahasiswa tersebut dikatakan seorang sarjana Agama Islam jikalau tidak sedikit banyak bisa berbahasa Arab. Karena hal itu menjadi prasyarat untuk mengajar disebuah lembaga pendidikan formal ynag nota benenya banyak huruf atau bacaan Arabnya.

3. Korelasi Antara Kitab Kuning Dengan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta ( PTAIS ).

Jika kita melihat pengalam yang sudah terjadi diberbagai PTAIS dan hal ini sering terjadi dilapangan bahwa lulusan dari PTAIS tidak bisa mengartikan sebuah Hadits atau yat al–Qur’an. Sehingga banyak pertanyaan ynag sering muncul adalah : Apakah itu tidak konyol namanya jikalau seorang mahasiswa jurusan PAI tidak bisa mengartikan Bahasa Arab?

Memang kita akui bersama bahwa, seorang mahasiswa PAI tidak hanya mempelajri Bahasa Arab dan Bimbingan Membaca Kitab. Akan tetapi, yang menjadi refleksi kita bersama bahwa bagaimana caranya kita bisa mempelajari semua itu sebagai bahan untuk menguatkan pondasi ini (setidaknya bisa membaca kitab) tanpa harus menganulir mata kuliah yang lain.

Jadi hubungan antara belajar membaca kitab kuning dengan PTAIS sangat erat hubungannya karena hal ini dapat menunjang kredibilitas Mahasiswa dan Dosen agar lebih semangat dalam mendalami sabda Nabi dan kalamullah.

4. Posisi Kitab Kuning Di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta ( PTAIS ).

Untuk melihat posisi dan sejauh mana makna pentingnya kitab kuning dikalang PTAI. Setidaknya perlu ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati yaitu :

1. Cara Pandang Masyarakat Terhadap PTAIS

PTAIS selama ini dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang mengembangkan pendidikan keislaman guna membentuk akhlak mahasiswanya. Hal ini yang menjadi karakteristik lembaga tersebut. Akan tetapi, semua itu hambar dan tidak percaya lagi karena masyarakat banyak melihat dilayar kaca bahwasanya mahasiswa pekerjaannya hanyalah tawuran dan berbuat anarkis sehingga anggapan mereka tentang PTAIS berputar arah sampai 180 derajat.

Dala hal ini kitab kuning sudah mulai tidak dijamhlagi dikalangan PTAIS dan juang dipesantren. Sebenarnya BMKK (Belajar Membaca Kitab Kuning) bisa dijadikan ikon dan juga bisa dijadikan karakteristk lembaga itu. Maka dari itu posisi belajar membaca kitab kuning sangat penting karena sebagai proses awal dalam menguasai tulisan dan bahasa Arab.

2. Kitab Kuning Juga Berfungsi Sebagai ‘Referensi’ Nilai Universal

Dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat. Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar sebuah hadist yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “Al-ulama warosatul anbiya”, ulama adalah pewaris para Nabi.

“Apapun masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning.” Itulah ungkapan mudah untuk menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning seperti dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat terselesaikan olehnya. Ini dimantapkan dengan beberapa cerita tentang keampuhan kitab kuning dalam menyelesaikan personalan kebangsaan. Misalnya, cerita peran kitab kuning di zaman trikora, tahun 1961. Alkisah, Kiai Wahab Hasbullah pernah melakukan kontekstualisasi kitab kuning yang berjudul Fathul Qorib yang kemudian oleh Bung Karno dijadikan sebagai dasar penyelesaian konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Pemerintah kerajaan Belanda secara resmi pernah berjanji kepada pemerintahan RI, bahwa Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1948. ternyata sampai tahun 1951 Belanda masih belum menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat.

Setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan Irian Barat dan selalu gagal. Bung Karno kemudian menghubungi Kiai Wahab Hasbullah di Jombang. Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat? “Hukumnya sama dengan orang yang ghosob,” kata Kiai Wahab. “Apa artinya ghosob itu pak kiai?” tanya Bung Karno. “Ghosob itu istihqoqu malil ghoir bighoiri idznihi, menguasai hak milik orang lain tanpa izin,” jawab Kiai Wahab. “Lalu bagaimana solusinya untuk menghadapi orang yang ghosob?” “Adakan perdamaian,” jawab Kiai Wahab. Lalu Bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting pak Kiai apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?” “Tidak,” jawab Kiai Wahab. “Lalu kenapa kita tidak potong kompas aja pak Kiai?” Kata Bung Karno. “Tidak boleh potong kompas menurut syari’ah,” jawab kiai Wahab. Selanjutnya, sesuai anjuran Kiai Wahab untuk berunding dengan Belanda, Bung Karno mengutus Subandrio untuk mengadakan perundingan konflik Irian Barat dengan Belanda. Perundingan inipun akhirnya gagal. Kegagalan inipun disampaikan oleh Bung Karno kepada Kiai Wahab. Lalu Bung Karno bertanya lagi, pak Kiai apa solusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Kiai Wahab menjawab, “akhodzahu qohrun”, ambil atau kuasai dengan paksa. Bung Karno bertanya lagi, “Apa rujukan pak Kiai dalam memutuskan masalah ini?” “Saya mengambil literatur kitab Fathul Qorib dan syarahnya, al-Baijuri,” tegas kiai Wahab. Setelah Bung Karno mantap dengan pendapat Kiai Wahab yang mengkontekstualisasi literatur kitab Fathul Qorib agar Irian Barat dikuasai atau direbut dengan paksa, kemudian Bung Karno membentuk Trikora (tiga komando rakyat).

3. Segi Dinamis Yang Diperlihatkan Kitab Kuning.

Kalau ditelisik, ternyata segi dinamisnya adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi-ektrem dan fikih-ekstrem.

Menjadikan kitab kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan Alquran-Hadis, melainkan justru pada hakikatnya mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan pengertian bahwa Al–Qur’an dan Hadis Nabi tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara paling aman untuk memahami kedua sumber utama itu agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri adalah mempelajari dan mengembangkan khazanah kitab kuning. Sebab, kandungan kitab kuning merupakan penjelasan dan pengejawantahan yang siap pakai dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari Al–Qur’an dan Hadis Nabi yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.

Dalam kaitannya dengan kajian khusus keislaman, lembaga pendidikan tinggi Agama Islam Swasta di Indonesia dihadapkan pada perkembangan tradisi kajian keislaman ala Barat yang cukup dinamis dalam beberapa dekade terakhir ini. Tradisi itu sendiri berakar pada sejarah yang sangat panjang paling tidak sejauh hubungan Kristen dengan Islam. Tidak bisa dielakkan bahwa sebab utama dari pertumbuhan kajian keislaman ala Barat itu adalah karena alasan teologis untuk menunjukkan dan mempertahankan keabsahan ajaran Kristen, dibanding dengan Islam. Bagi kalangan missionaris, hasil kajian keislaman itu digunakan untuk mengeffektifkan tugas-tugas penyebaran Kristen khususnya ke wilayah-wilayah yang didominasi oleh Islam. Sebelum menjadi lapangan kajian dan disiplin akademik, tradisi kajian keislaman itu lebih bersifat politik dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan dominasi Barat atas bangsa dan wilayah Islam. Islamic studies mulai berkembang pada abad 19 sebagai bagian dari kajian masalah-masalah ketimuran [oriental studies atau orientalisme] dan agaknya baru pada paruh kedua dari Abad 20 ini ada upaya kuat untuk memisahkannya dari atau tidak mengidentikkannya dengan orientalisme. Dengan memperhatikan sejarahnya, akar-akar pertumbuhan dan perkembangan kajian keislaman ala Barat dapat diidentifikasi ke dalam tiga tahap:

1. tahap teologis,

2. tahap politis, dan

3. tahap saintifik.

Kecenderungan untuk menghadapkan Islam pada perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya agaknya merupakan ciri kuat dari kajian keislaman pada masa-masa awal periode modern. Hal ini berkembang bersamaan dengan semakin leluasanya para sarjana Barat untuk memasuki wilayah-wilayah Islam sebagai bagian dari kepentiangan politik kolonial. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, mulai fase ini kekuasaan Islam mengalami penurunan yang drastis menyusul jatuhnya kekhalifahan Usmaniyyah, sehingga hampir seluruh kekuasaan Islam berada dalam kontrol pemerintahan bangsa-bangsa Barat seperti Inggeris, Belanda, Perancis, Spanyol, Italia, dan Jerman. Untuk menjaga dan mengamankan kepentingan politiknya di wilayah-wilayah Timur, mereka menjadikan tradisi kajian masalah-masalah ketimuran [oriental studies atau orientalism] sebagai instrumen yang sangat penting. Dalam konteks yang terakhir inilah kajian-kajian keislaman pada fase ini dilakukan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari bangsa-bangsa Timur yang mengalami penjajahan pada awalnya merupakan bagian dari kekuasaan Islam, mulai dari wilayah-wilayah Afrika, Arab, Asia Tengah, Asia Selatan, sampai dengan Asia Tenggara.

Perhatian utama orientalisme sebetulnya tidak terbatas pada masalah-masalah keislaman, tetapi pada seluruh masalah-masalah ketimuran, khususnya di wilayah Asia. Ia pada awalnya adalah kajian kritis filosofis terhadap teks-teks dari kebudayaan Asia --kajian ini pada dasarnya menandai semangat Pencerahan Eropa. Orientalisme kemudian membawa konsekuensi pada semangat bangsa ini untuk menjelajahi dunia-dunia Timur, khususnya dalam bidang seni, kesusasteraan dan musik. Implikasi lebih lanjut dari orientalisme ini tidak bisa dihindari mengarah pada kepentingan imperialisme Eropa atas kawasan-kawasan lain, Asia dan Afrika.

Untuk tujuan-tujuan di atas, orientalisme dibangun dengan mengembangkan kajian-kajian bahasa dan peradaban Asia yang secara institusional sudah dimulai pada tahun 1795 di Paris-Ecole des Langues Orientales Vivantes. Sekitar sepuluh tahun kemudian terbit Description de l’Egypte, sebuah karya yang terdiri dari 23 jilid dan dipandang sebagai pedoman dasar yang sistematis untuk kajian sejarah dan kebudayaan bangsa-bangsa Muslim. Melalui kerja intensif yang dilakukan lembaga ini, tradisi pilologis, yang menjadi instrumen utama orientalisme, dipandang sangat penting dan dianggap sebagai ilmu kebudayaan ummat manusia. Di antara tokoh-tokoh yang terkenal dalam proses pembentukan dan pengembangan orientalisme ini antara lain adalah Armand-Pierre Caussin de Perceval (1795-1871), Etinne Quatremere (1782-1857), dan Leone Caetani (1869-1935). Selain itu, beberapa jurnal juga dianggap sangat membantu dalam pengembangan orientalisme, seperti The Journal of the Royal Asiatic Society (1834) dan Zeitschrif fur deutsche morgenlandische Gesellschaft (1845).

Mulai paruh pertama Abad 20 muncul para sarjana orientalis yang menghususkan perhatiannya pada kajian keislaman. Mereka menerbitkan karya-karya yang secara langsung memperlihatkan kajian ala orientalis tentang aspek-aspek fundamental dari agama dan peradaban Islam. Untuk menyebut beberapa nama yang terkenal, di antara para orientalis itu adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), Carl Heinrich Becker (1876-1933), Carl Brockelmann (1868-1956), dan Duncan Black Macdonald (1892-1925). Pada waktu yang bersamaan muncul juga penerbitan jurnal Revue des etudes islamiques dengan Louis Massignon (1883-1962) sebagai penanggungjawab editingnya.

Gelombang kedua dalam perkembangan orientalisme yang menghususkan pada kajian keislaman muncul dari disiplin baru, kajian kawasan (area studies), khususnya kajian kawasan Timur Tengah (Middle Eastern studies). Kajian kawasan adalah disiplin tersendiri dalam tradisi akademik Barat yang populer setelah Perang Dunia II. Meskipun tradisi pilologis masih tetap kuat, tetapi dengan dukungan kajian kawasan ini, orientalisme mencapai perkembangan cukup penting. Dari generasi ini muncul sarjana orientalis seperti Claude Cahen (1909-1991), Philip K. Hitti (1886-1974), HAR Gibb (1895-1971), Gustave E. von Grunebaum (1909-1972), dan Girogio Levi Della Vida (1886-1974).

Penting pula dicatat, di samping orientalisme, tradisi akademik Barat sudah sejak abad 19 mengoperasikan pendekatan-pendekatan sintesis dari berbagai disiplin yang berkembang. Ahli-ahli sejarah pada masa itu sudah berusaha mengidentifikasi ciri-ciri yang membedakan antara berbagai kebudayaan dan perdaban ummat manusia. Mereka memanfaatkan kajiannya untuk meneliti segi-segi terpenting dari kebudayaan itu, di samping menelusuri proses transmisi dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. Kalangan antropolog sudah mulai mengkonsentrasikan kajiannya pada proses klasifikasi ras, budaya, dan agama ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, dan dengan itu mereka menelusuri hubungan kekeluargaannya satu sama lain (the relation of kinship). Sementara itu, kalangan sosiolog membuat tipologi formasi sosial untuk mengelompokkan masyarakat tertentu menurut tipe-tipe yang dirumuskannya.

Sangat disayangkan bahwa tradisi sainitifik modern pada masa awal kurang didukung oleh pengetahuan keislaman yang cukup kecuali mengandalkan pada apa yang diterima dari kajian-kajian terdahulu yang sangat kuat diwarnai oleh sentimen teologis. Hegel misalnya menafikan nilai dan orisinilitas kebudayaan Islam yang menurutnya hanya merupakan perantara yang mengalirkan tradisi Yunani-Romawi dengan Eropa modern. Sejalan dengan itu, seorang ahli kebudayaan dan bahasa Renan menganggap Islam sebagai hasil dari semangat Semitik untuk menunjukkan bahwa kontribusinya terhadap kebudayaan ummat manusia sangat terbatas. Bahkan lebih jauh ia mengklaim bahwa Islam adalah faktor utama yang menyebabkan kejatuhan bangsa Semitik yang luar biasa.

Dengan munculnya sarjana-sarjana orientalis yang menghususkan pada kajian keislaman, pengetahuan Barat tentang agama dan peradaban Islam semakin berkembang. Kajian mereka pada akhirnya menyajikan pandangan yang lebih analatik dan kritis tentang Islam yang sering digunakan oleh para sosiolog dan antropolog pada masa berikutnya. Sejauh kajian-kajian historis pada masa awal misalnya para sarjana terbiasa menggunakan konsep-konsep “Kota Islam” dan “Masyarakat Islam.” Dengan kajian belakangan, konsep-konsep seperti itu mendapat pengertian dan penjelasan yang lebih kritis sehingga bisa membedakan mana batasan konseptual yang normatif dan mana yang empirik. Dalam kenyataanya ditemukan kesenjangan yang sangat jauh antara “apa saja yang disertai kata sifat Islam” dengan gagasan ideal dari Islam itu sendiri.

Tradisi orientalisme dalam perkembangannya kemudian menimbulkan kerisauan khususnya di kalangan Islam karena dipandang telah membangun imaginasi tentang Islam untuk menunjukkan kekuatan politik Barat. Meskipun kritik ini ditolak oleh kalangan orientalisme sendiri, tetapi secara effektif telah meletakkan dasar argumen untuk melakukan evaluasi atas berbagai usaha orientalisme. Sementara kesan negatif terhadap orientalisme itu terus berkembang, kajian keislaman mulai diarahkan pada satu disiplin tersendiri sehingga ahli-ahli keislaman Barat cenderung untuk tidak menamakan dirinya sebagai orientalis tetapi Islamisis. Dengan demikian tradisi Islamic studies yang berkembang dalam beberapa dekade belakangan ini merupakan tahapan yang cukup penting dalam tradisi kajian keislaman di Barat. Meskipun pengaruh orientaslisme tetap sangat kuat, tetapi karakter Islamic Studies dengan bantuan Religious Studies mulai menampakkan bentuknya sebagaimana tercermin dalam diskusi-diskusi dikalangan sarjana Barat modern tentang ruang lingkup dan pendekatan-pendekatan kajian dalam bidang ini. Kenyataan berdirinya pusat atau lembaga kajian khusus Islamic Studies juga merupakan isyarat kuat adanya kecenderungan untuk memisahkan kajian dalam bidang ini dari tradisi orientalisme.

Perkembangan yang perlu dicatat juga adalah berkaitan dengan latarbelakang sosial-kultural para sarjana Islamic Studies dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun tetap didominasi oleh mereka yang sepenuhnya berlatar belakang Barat, baik dari kawasan Eropa maupun Amerika, tidak sedikit dari para sarjana dalam bidang ini adalah mereka yang memiliki latarbelakang Timur, khususnya Arab. Sejalan dengan derasnya arus imigrasi, para sarjana asal Arab itu sudah lama hidup, tinggal dan mengenyam pendidikan di Barat, namun dalam beberapa hal masih memelihara tradisi bangsa asalnya. Termasuk dalam kelompok yang terakhir ini adalah para sarjana Muslim, baik yang datang dari wilayah Arab, Afrika maupun Parsia, dan mereka terlibat dengan corak tersendiri dalam tradisi Islamic studies modern.

Sebagaimana disiplin kajian pada umumnya, karakter Islamic Studies modern tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Ia pada dasarnya merupakan akumulasi dari kajian-kajian yang sudah sangat lama dilakukan, di samping merupakan respons atas perkembangan-perkembangan baru. Bidang-bidang yang menjadi obyek perhatian didiplin ini meliputi hampir semua aspek keislaman mulai dari kitab suci, hakekat kenabian Muhammad, institusi-institusi keislaman, sampai dengan masalah hubungan Islam-Kristen sendiri. Pendekatan-pendekatan dalam kajian keislaman ini pun bervariasi menurut latarbelakang akademik, politik, dan agama para sarjana yang terlibat. Tidak bisa dihindarkan, sejumlah sarjana Muslim yang terlibat dalam kajian keislaman modern ini terpengaruh oleh posisinya sebagai “pihak dari dalam” (Insider) sehingga pendekatan mereka terkesan apologetik meskipun tetap kritis. Dalam tradisi akademik Barat, kajian keislaman ini berkembang, baik melalui pusat-pusat kajian khusus yang menangani isu-isu keislaman maupun melalui pusat-pusat kajian keagamaan (religious studies), kajian kawasan (area studies), kajian kebahasaan (linguistic studies), dan kajian-kajian ilmu sosial dan kemanusiaan (social sciences and humanities).

Pendekatan-pendekatan kajian keislaman modern paling tidak terdiri dari pendekatan-pendekatan pilologis dan historis (philological and historical approach), pendekatan ilmu-ilmu sosial (social scientific approach), dan pendekatan penomenologis (phenomenological approach). Pada tahap awal dari perkembangan kajian keislaman modern, pendekatan missionaris dan kolonialisme (missionary and colonial appreach) terkenal sangat menonjol sehingga dampaknya terhadap pendekatan-pendekatan yang berkembang belakangan sangat sulit dihindarkan. Beberapa sarjana Barat yang berlatarbelakang non-Barat (imigran) atau non-Kristen mungkin tidak menerima pengaruh yang berlebihan dari tradisi missionaris dan kolonialisme itu.

Pendekatan pilologis dan historis dapat dikatakan sebagai aliran utama dalam kajian keislaman modern. Tidak sedikit sarjana Barat melakukan kajian teks dan manuskrip Islam, khususnya dalam Bahasa Arab, yang tersebar dan tersimpan di perpustakaan-perpustakaan baik di kawasan Islam maupun di kawasan Barat. Mereka mengumpulkan dan mengklasifikasikan teks dan manuskrip, menguji autentitas kepengarangan, menyunting bagian-bagian yang dipandang kabur, memberi penjelasan dan penafsiran, dan meneliti hubungan antar teks dan manuskrip. Melalui kajian teks dan manuskrip ini, dengan sendirinya mereka memperoleh pengetahuan tentang hampir semua aspek keislaman sejauh yang termuat dalam naskah-naskah yang tersedia. Kajian kebahasaan, terutama bahasa-bahasa Timur Tengah (middle eastern studies) menjadi sangat penting tidak saja untuk mempersiapkan ahli dan tenaga trampil kebahasaan, tetapi juga untuk meneliti aspek-aspek linguistiknya itu sendiri. Karya-karya pilologis Barat pada akhirnya menjadi bahan dan sumber utama dalam kajian-kajian keislaman modern.

Bersamaan dengan pendekatan pilologis, pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam tradisi kajian keislaman modern. Kajian terhadap naskah-naskah klasik keislaman merangsang mereka untuk mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen yang tersedia. Aspek-aspek kehidupan Muhammad khususnya dan perkembangan peradaban Islam pada umumnya menjadi tema utama dari kajian kesejerahan ini. Naskah yang dikerjakan oleh para sarjana pilologis menjadi sumber-sumber pembuktian yang dianggap autentik, sehingga tekanan-tekanan dalam kajian kesejarahan antara lain sangat ditentukan oleh tingkat pengenalan sarjana Barat terhadap lokus mana yang menjadi pusat perdadaban Islam sebagaimana terekam dalam manuskrip-manuskrip.

Sejalan dengan perkembangan saintifik dalam kajian ilmu-ilmu sosial, para sarjana Barat dalam bidang ini memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kajian keislaman. Terutama mereka yang menghususkan pada studi kawasan Timur Tengah tidak bisa menghindarkan diri untuk memperhatikan Islam. Meskipun tidak terlatih secara khusus dalam bidang keislaman, mereka berjasa dalam menjelaskan formasi sosial dan hubungan-hubungan antar institusi dalam masyarakat yang secara kuat dipengaruhi oleh tradisi Islam. Implikasi ajaran-ajaran agama terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi titik perhatian, yang pada gilirannya ikut memperkaya bangunan pengetahuan dalam disiplin kajian keislaman modern. Proses ini secara kumulatif menunjukkan penggunaan pendekatan soliologis, antropologis dan ilmu politik (political science) dalam kajian keislaman.

Penting untuk dicatat bahwa dengan mengasumsikan Islam sebagaimana diekspresikan dalam perilaku dan institusi ummat, pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam beberapa hal bersifat fragmentaris menampilkan fenomena keislaman yang terpisah-pisah antara kawasan yang satu dengan kawasan yang lain. Namun demikian, secara kumulatif pendekatan ini berhasil mengungkapkan dimensi dinamik dan heterogenitas Islam yang terbentuk oleh hubungan-hubungan husus antara agama ini dengan masyarakat-masyarakat yang bervariasi. Sejauh perspektif sosiologis, antropologis, dan ilmu politik, terdapat kecenderungan yang kuat untuk tidak mengidentikan Islam dengan kawasan Timur Tengah. Dalam perkembangan modern, manifestasi Islam di kawasan-kawasan seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara mulai terangkat dan pada akhirnya merangsang perhatian yang lebih jauh terhadap aspek-aspek keislaman yang lebih dalam termasuk hal-hal yang bersifat historis dan metafisis, dari kawasan-kawasan ini.

Pendekatan lain yang biasa digunakan dalam kajian keislaman modern adalah pendekatan penomenologis yang merupakan pendekatan utama dalam tradisi kajian perbandingan agama (comparative religions) atau sejarah agama-agama (history of religions) di Barat sejak paruh kedua abad 19. Dikembangkan oleh tokoh seperti Mircea Eliade, pendekatan ini mengandung dua ciri utama: (1). Membebaskan diri dari pemihakan atas agama yang dianutnya dan (2). Mengklasifikasikan aspek-aspek dasar untuk menemukan karakter universal yang sama antara agama yang satu dengan agama yang lain. Pada ciri yang pertama dikenal istilah epoch usaha menetralkan keberpihakan pada agama-- sedang pada ciri kedua dikenal istilah taxonomic scheme of religion --stuktur dasar agama yang ada di balik semua penomena agama. Dalam pandangan fenomenologis, kajian keislaman tidak bisa dilakukan hanya dengan mengamati apa yang sudah terlembagakan, tetapi harus dengan memahami aspek-aspek struktural dan universal yang melatarbelakangi sebuah doktrin atau institusi keislaman itu.

E. RESPONS PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

Terhadap dua isu sebagaimana diuraikan di atas, dunia pendidikan tinggi Islam di Indonesia bukannya bersifat pasif sama sekali. Beberapa respons telah diberikan dengan melakukan sejumlah langkah perubahan dan pembenahan. Dalam kaitannya dengan pemaduan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, misalnya, beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia telah mengusahakannya dengan berbagai cara. Pertama-tama dilakukan penataan kurikulum antara lain dengan mamasukkan mata-mata kuliah lintas disiplin di mana ilmu-ilmu umum diajarkan. Kemudian ditempuh pembenahan dalam bidang pengajaran dengan memperkenalkan metode-metode yang berbasis pemikiran kontekstual, bukan doktrinal. Dengan pendekatan kontekstual, pengajaran ilmu-ilmu agama menuntut pengetahuan ilmu-ilmu sosial dan kebahasaan agar mampu menawarkan pemahaman keagamaan yang lebih segar.

Usaha-usaha memadukan ilmu sudah cukup lama berkembang di lingkungan Universitas-Universitas Islam Swasta yang membuka program-program studi Agama Islam, seperti di Universitas Islam Indonesia dan beberapa Universitas Muhammadiyyah. Bahkan usaha yang sama juga dilakukan oleh beberapa universitas umum meskipun masih terbatas pada wilayah ekstra kurikuler, sebagaimana terjadi di lingkungan Unversitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan Institut Teknologi Bandung. Di lingkungan IAIN, usaha serupa dilakukan agak lambat antara lain karena problem kelembagaan. Dengan berbentuk institut, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ini pada dasarnya memiliki kewenangan yang terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu dalam satu rumpun, yakni ilmu-ilmu keislaman. Dengan demikian, untuk memadukan pengajaran ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, beberapa IAIN berusaha untuk merubah bentuk kelembagaannya menjadi universitas. Proses ini masih bersifat rintisan dengan program wider mandate pada beberapa IAIN dan STAIN (Bandung, Surabaya, Malang, Pekanbaru, Ponorogo).

Dalam kaitannya dengan perkembangan kajian keislaman ala Barat, dunia pendidikan tinggi Islam pada dasarnya juga telah berusaha memberikan respons melalui sejumlah program pembaharuan. Tidak bisa disangkal, perkembangan itu telah mempengaruhi pendekatan dan wacana keislaman dalam beberapa dekade terakhir. Munculnya gerakan liberal Islam di Indonesia tidak bisa disangkal antara lain merupakan akibat dari interaksi kajian keislaman di Indonesia dengan tradisi Barat. Hal ini secara intensif telah mewarnai perkembangan kajian keislaman di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia sebagaimana tercermin dalam kurikulum, sumber-sumber referensi, dan sarjana-sarjana yang terlibat.

Dibanding dengan perguruan-perguruan tinggi Islam di negara-negara lain, apa yang terjadi di Indonesia dapat dianggap sebagai kecenderungan yang sangat responsif atau bahkan permissif dengan model kajian keislaman ala Barat. Sejak tahun 70-an Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Islam, khususnya IAIN, dalam jumlah yang cukup banyak mengikuti program-program pendidikan dalam bidang kajian keislaman atau bidang-bidang lain yang masih berhubungan dengannya di beberapa Universitas Barat. Dua negara Barat yang menjadi sasaran pengiriman dosen-dosen itu adalah Kanada dan Belanda masing-masing di universitas McGill Montreal dan Universitas Leiden yang lebih dari 10 tahun telah bekerjasama khusus dengan Departemen Agama. Bersamaan dengan itu, literatur-liter keislaman yang ditulis oleh sarjana-sarjana Barat juga beredar, dan sebagian diterjemahkan di Indonesia. Perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia bahkan mengundang dan mendatangkan sejumlah sarjana keislaman Barat untuk menjadi tenaga pengajar tamu (visiting professor) atau pembicara dalam kegiatan-kegiatan ilmiah.

Kalau kita ingin melihat antomi keberadaan dan persoalan apa yang sedang dihadapi oleh PTAIS, maka memotret kondisi obyektif saat ini sangatlah penting untuk dilakukan. Karena dengan mendiagnosa penyakit apa yang sedang dihadapi, baru akan dapat diputuskan obat apa yang tepat untuk diberikan. Di sinilah pesan dari Bapak Dirjen Bagais, agar kita selalu mengadakan muhasabah tepat kiranya untuk dicermati. Perkembangan Perguruan Tinggi Agama Islam dewasa ini sudah pada tahap yang cukup menggembirakan. Jumlah PTAI Negeri (UIN = 4, IAIN =14 dan STAIN = 33) dan PTAI Swasta yang jumlahnya melebihi 3 kali lipat, dan 3 berbentuk Universitas. Bahkan beberapa STAIN sudah mulai “ancang-ancang” untuk berubah menjadi Institut, demikian pula pada saat yang sama sejumlah Insitut juga telah mempersiapkan diri untuk berubah menjadi Universitas Islam terkemuka di daerahnya masing-masing. Kalau dilihat dari sisi lokasi, maka terlihat distribusi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ini juga cukup merata di seluruh penjuru Tanah Air. Jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta pun meningkat dengan cepat dari tahun ke tahun.

Akan tetapi sampai detik ini pun perubahan itu tidak berubah dari sektor kwalitasnya. Namun yang dikejar hanyalah kwantitasnnya saja sehingga mengorbankan banyak orang setiap tahunnya. Maka dari itu perlu adanya pembenahan yang sampai detik ini dianggap sepele yaitu tentang penguasaan dibidang agama, dalam hal ini sangat beragam diantaranya yaitu :

1. Penguasaan dibidang agama;

2. Membaca kitab kuning;

3. Penguasaan menterjemahkan Al – Qur’an dan Hadits Nabi.

4. Peningkatan skill dan kreasi mahasiswa.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

PTAIS selama ini menganggap bidang penguasaan baca kitab dan bahasa arab adalah sepele, namun semua ini besar manfaatnya jika mahasiswa jurusan PAI setelah sarjana, setidaknya sedikit banyak bisa berbahasa arab dan membaca kitab. Sehingga hal ini bisa dijadikan ikon lembaga tersebut untuk meningkatkan nilai tawar PTAIS dari pada lembaga yang lainnya. Bagaimana mungkin dikatakan sarjana agama jikalau tidak memahami tentang agama islam. Faktor inilah yang selama ini sudah dikesampingkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi agama islam swasta dan juga Instansi tersebut.

Dalam hal ini faktor yang lemah dalam Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta ( PTAIS ) adalah kwlitas yang sangat memperihatinkan. Jika melihat kwantitas lulusannya sudah cukup besar. Ini merupakan kelemahan yang perlu di penangan yang lebih serius. Disamping itu perlu adnya pembenahan dibeberapa sektor yaitu :

1. Kurikulum : kelemahan utama kurikulum PTAIS yang digunakan saat ini adalah kurang komunikatifnya kurikulum itu bagi semua pihak yang terkait.

2. Dosen : kebanyakan dosen PTAIS adalah lulusan PTAIS sendiri dengan berbagai jurusannya. Kecuali mereka yang berasal dari Fakultas Tarbiyah, kebanyakan dosen PTAIS tidak memperoleh latihan kependidikan. Kendati kebanyakan mereka kini sudah menyelesaikan pendidikan S2 namun disayangkan ada sebagian PTAIS yang lebih mementingkan formalitas pendidikan S2 dosennya daripada mutunya.

3. Proses belajar mengajar : proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh PTAIS kebanyakan masih bersifat tradisional dan formalistis. Mungkin hal ini adalah akibat kurang jelas (komunikatif) nya kurikulum PTAIS saat ini sehingga arah pendidikan disuatu PTAIS kurang dipahami oleh pelaksana pendidikan dilapangan.


B. SARAN

Didalam sebuah proses belajar kita tidak jauh dari sebuah kekurangan karena kita hanyalah isnsan yang dhaif. Akan tetapi, semua itu kita harus berusaha bagaimana semua itu dibenahai agar mencaoai sebuah kesempurnaan. Jadi, Penulis ingat dengan Firman Allah dalam Surah Ar – Ra’du, Ayat 11 yang artinya : ” Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya ” .

Mulai dari penyusunan dan penulisan apabila terdapat kekurangan, maka saya mengharap kritikannya yang membangun agar kedepannya lebih baik dari pada tulisan yang saya buat ini.

Menurut hemat saya adalah bagaimana Mahasiswa yang diluluskan di lembaga PTAIS mempunyai keahlian yang mereka miliki. Hal ini bisa ditempuh dengan penambahan atau mengganti mata kuliah yang selama ini kurang efektif dengan materi baca Kitab Kuning. Jikalau lembaga tersebut tidak bisa mengubah materi tersebut maka menggantinya dengan mata kuliah tambahan. Dengan jalan ini maka lulusan yang kita harapkan. Hal ini termaktub dalam sebuah Hadits yang berbunyi ”Khoirunnas Anf’um linnas” artinya ”sebaik – baik manusia adalah bermanfaat bagi manusia ”.

Disamping penambahan disektor tersebut, yang masih perlu dibenahi adalah masalah kwlitas Dosen yang mengajar diberbagai lembaga PTAIS di Jawa Timur. Sehingga hal itu bisa menurunkan image PTAIS yang selama ini sedikit dilirik oleh Orang Tua MABA ( Mahasiswa Baru ) karena kwalitas lulusannya kurang profesional. Disangkal atau tidak hal itu sudah banyak bertebaran di masyarakat. Bukannya bermanfaat bagi masyarakat akan tetapi meresahkan masyarakat. Hal ini karena penguasaan agamanya terlalu dangkal dan tidak mempunyai skill yang mumpuni. Sehingga setelah keluar dari lembag tersebut tidak cepat mendapat pekerjaan dan akhirnya ide yang muncul adalah mencuri agar cepat mendapatkan uang tanpa memikirkan resiko yang akan ditimpanya.


* PRESIDEN MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

PERIODE 2009/2010